Hak Asasi Manusia
HAK
ASASI MANUSIA
A. PENGERTIAN
HAK ASASI MANUSIA
Hak asasi manusia muncul sebagai jawaban dari banyaknya penindasan manusia
oleh penguasa yang tirani sehingga tumbuh kesadaran akan harkat dan martabatnya
sebagai manusia. (Pandji, 2006 : 83)
Secara definitive “Hak” merupakan unsurmormatif yang
berfungsi sebagai pedoman berprilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta
menjamin adanya peluang bagi menusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Ada
beberapa istilah asing yang kita kenal sehubungan dengan hak asasi manusia
(HAM) antara lain :
1. Droit
de I’home (Perancis)
3. Mensen
rechten (belanda)
Semua itu diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia sebagai hak-hak kemanusiaan atau hak asasi manusia.
(Pandji :2006 : 83-84)
Hak asasi manusi menurut Tilaar (2001) adalah
hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa hak-hak itu manusia tidak
dapat hidup layak sebagai manusia. Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang
melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai satu anugerah
tuhan yang maha esa yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap
individu, masyarakat atau Negara.
Sampai pada saat ini sebenarnya belum ada pegertian
yang baku tentang definisi atau pengertian hak asasi manusia. Mengingat hak
asasi manusia bersifat universal maka pandangan yang mempertentangkan HAM yang
berasal dari budaya barat dan HAM budaya timur adalah sangat tidak relevan
karena sifat HAM yang melekat pada diri manusia termasuk sifat universalnya
sendiri.
Pengakuan terhadap HAM memiliki 2 landasan yaitu :
a. Landasan
yang langsung dan pertama, yakni kodrat manusia.
Kordrat manusia
adalah sama derajat dan martabatnya. Semua manusia adalah sederajat tanpa
membedakan ras, agama, suku, bahasa dan sebagainya
b. Landasan
kedua dan yang lebih dalam : tuhan mencipatak manusia
Semua manusia
adalah makhluk dari pencipta yang sama yaitu tuhan yang maha esa. Karena itu
dihadapan tuhan manusia adalah sama kecuali nanti pada amalannya.
B. HAM
DI INDONESIA
HAM di Indonesia didasarkan pada konstitusi NKRI yaitu:
pembukaan UUD 1945 (alinea 1), pancasila pada sila ke empat, pasal 27, 29, 30 UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun
1999 tentang HAM. Dan UU Nomor 26 tahun 2006 tentang peradilan HAM.
Dibawah ini akan menjelaskan tentang
perkembangan HAM di Indonesia mulai pemikiran
HAM Budi Utomo sampai dengan
perkembangan HAM di era reformasi.
1. Pemikiran
HAM Budi Utomo
Dalam konteks pemikiran HAM, para pemimpin Budi
Utomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan
pendapat melalui petisi-petisi yang ditunjukan kepada pemerintah colonial
maupun dalam tulisan yang dimuat surat kabar “Goeroe Desa”. Bentuk pemikiran
HAM Budi Utomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
2. HAM
1970 sampai dengan 1980
Pemikiran elite penguasa pada masa ini sangat
diwarnai oleh sikap penolakan terhadap HAM sebagai produk barat dan
individualistic serta bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut oleh
bangsa Indonesia. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif yang
mencerminkan oleh produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM.
3. HAM
1990 sampai sekarang
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan
melalui dua tahapan yaitu tahapan status penentuan dan tahapan penataan aturan
secara konsisten.
HAM dalam UUD 1945 sebelum perubahan pasal 28. Jaman
orde baru dengan keluarnya keppres No. 50 tahun 1993 tentang pembentukan komnas
HAM. Dan di era reformasi, dengan diamandemennya UUD 1945 HAM ada pada pasal
28A-28J, lalu disahkan UU No. 39 tahun 1999, kemudian keluar lagi UU No. 26
tahun 2000 tentang peradilan HAM, UU KDRT; UU perlindungan anak, UU tentang
trafficking.
Komisi yang terbentuk setelah reformasi yang
berfungsi untuk menangani permasalahan HAM, antara lain komnas HAM, komnas
perlindungan anak, komnas perempuan, komisi rekonsiliasi dan kebenaran.
C. PELANGGARAN
HAM DAN PERADILANNYA
Dengan prinsip effective remedy sesuai dengan pasal
2 (paragraph 3) konvenan sipol maka banyak sekali hal yang bisa dimonitoring
dalam konteks implementasinya di Indonesia. Berbagai pelanggaran termasuk
kategori serius dan berat HAM telah terjadi, baik itu pada masa orde baru
maupun periode sesudahnya, baik yang terjadi secara individual maupun dalam
skala massif.
Pelangggaran HAM di Indonesia banyak sekali terjadi,
tetapi sering terjadi pembiaran. Pembiaran itu bisa dilihat dari segi untuk
tidak melakukan investigasi terhadap pelanggaran berbagai kasus pelanggaran
HAM, antara lain kasus di Aceh, Papua atau atas peristiwa pembantaian massa di
kurun waktu 1996-1970, kasus pertus (penembakan misterius) dipertengahan
1980-an, kasus talangsari lampung (1989), konflik komunal di ambon, poso, atau
Kalimantan, hingga kemandekan dalam investigasi kasus pembunuhan munir.
Yang bisa di proses dalam peradilan HAM menurut UU
Nomor 26 tahun 2006 adalah pelanggaran HAM berat. Selain itu akan diproses
dalam di peradilan umum.
Pelanggaran HAM berat ada yang dikatakan dengan Genosida
dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Berikut ini adalah uraian tentang kedua
pelanggaran HAM berat tersebut.
1. Kejahatan
Genosida
Istilah Genosida pertama kali dikenalkan oleh Dr.
Raphael Lemkin pada tahun 1944. Secara etimologis, istilah ini berasal dari
kata yunani, geno yang artinya ras
dan kata latin, cidium yang bermakna
membunuh. Genosida senantiasa dikaitkan dengan “pembunuhan terhadap ras” atau
“permusuhan ras”. Meskipun kini ada beberapa definisi mengenai genosida, tetapi
sebagian besar dari definisi tersebut tetap mencerminkan kedua elemen etimologi
itu. (Arie Siswanto :2005 :48).
Menurut konvensi Genosida 1948 ini, kelompok yang
dapat menjadi sasaran genosida adalah kelompok rasial, kelompok religious,
kelompok nasional, kelompok etnis. tapi pada masa sekarang yang perlu kita
catat bahwa kelompok etnis lebih memiliki peluang besar untuk menjadi target
group Genosida. (Ibid : 50)
2. Kejahatan
terhadap kemanusiaan
Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) sebagai suatu
kategori dari kejahatan internasional mulai dikenal dalam joint declaration pemerintah Prancis, Inggris dan Rusia pada tanggal 28 Mei 1915.
D. LEMBAGA
HAM
Setiap diri kita adalah pejuang HAM. Penegakan HAM
dimulai dari lingkup yang kecil tersebut jika dilakukan oleh setiap orang akan
berubah menjadi langkah besar. Yang terpenting dalam hal ini adalah bahwa
sertiap orang menghormati hak asasi mausia sesamanya. Maka apapun bentuk
langkah yang diambil untuk menunjukkan penghormatan terhadap HAM, hal tersebut
merupakan dukungan luar biasa bagi penegakan HAM. Sikap positif terhadap upaya
penegakan HAM dapat dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat
luas. Di lingkungan masyarakat luas sikap positif terhadap upaya penegakan HAM
dapat dilakukan antara lain sebagai berikut :
1. Tidak
mengganggu ketertiban umum.
2. Saling
menjaga dan melindungi harkat dan martabat manusia.
3. Meghormati
keberadaan masing-masing.
4. Berkomunikasi
dengan baik dan sopan.
Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia pada pasal 17 menyebutkan bahwa : “pemerintah wajib dan
bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi
manusia yang diatur dengan undang-undang ini, peraturan perundang-undangan
lain, dan hokum internasional tentang
HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia”. Dari ketentuan Undang-undang
ini, pemerintah wajib dan bertanggung jawab melindungi HAM.
Adapun
lembaga perlindungan HAM di Indonesia adalah:
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM)
(Keppres No 50 tahun 1993). Lembaga yang mandiri yang kedudukannya setingkat
dengan lembaga Negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian,
penelitian, penyuluhan dan mediasi hak asasi manusia (perdamaian kedua belah
pihak, penyelesaian perkara dengan cara negosiasi, konsultasi)
Tujuan Komnas HAM : mengembangkan kondisi yang
kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan pancasila, UUD 1945
dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Meningkatkan
perlindugan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia
Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang
kehidupan. Dalam rangka penegakan HAM, Komnas HAM melakukan pemanggilan saksi,
dan pihak kejaksaan yang melakukan penuntutan dipengadilan HAM. Menurut Pasal 104
UU HAM, mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM
dilingkungan peradilan umum yaitu pengadilan negeri dan pengadilan tinggi,
proses peradilan sesuai dengan fungsi badan peradilan.
Selain KOMNAS HAM ada juga yang bukan merupakan
lembaga Negara yang bisa membantu penyelesaian pelanggaran-pelanggaran HAM
yaitu yang kita kenal dengan lembaga bantuan hokum
Dalam pelaksanaan HAM, maka sangatlah perlu
diberikan pendidikan HAM terebut. Pengajaran HAM sejak dini, dilaksanakan tidak
hanya bertujuan sebagai pengetahuan (Knowledge),
tentang HAM tetapi juga pengembangan sikap (attitude),
dan keterampilan (skill). Pengetahuan
tentang HAM mencakup hak dan kewajiban setiap manusia, hak-hak anak, hak
perempuan, masalah keadilan dan pluralisme. Pendidikan HAM mengembangkan
keterampilan mahasiswa yang dilakukan dengan meningkatkan keterampilan
mendengarkan pendapat orang lain, bekerjasama, memecahkan masalah, membuat
analisa moral dan bagiamana mengajukan kritik dengan baik. Mahasiswa diharapkan
mempunyai sikap yang baik dan menyadari bahwa HAM setiap manusia adalah inheren
dimiliki oleh orang lain, menghargai dan bertanggung jawab atas tindakan yang
diambil dan mampu memperbaiki kehidupannya dimasa mendatang.
Selain itu masih ada lembaga-lembaga lain yang bisa
membantu masyarakat kalau ada laporan terjadinya pelanggaran HAM, yaitu komisi
perlindungan anak Indonesia, komisi perlindungan perempuan.
I.
RULE OF LAW
A. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP RULE OF LAW
Gerakan masyarakat yang menghendaki bahwa kekuasaan
raja maupun penyelenggara Negara harus dibatasi dan diatur melalui suatu
peraturan perundang-undangan dan
pelaksanaan dalam hubungannya dengan segala peraturan perundang-undangan itulah
yang sering diistilahkan dengan Rule of
Law. Berdasarkan bentuknya sebenarnya Rule
of Law adalah kekuasaan public yang diatur secara legal. Setiap organisasi
atau persekutuan hidup dalam masyarakat termasuk Negara mendasarkan pada Rule of Law. Dalam hubungan ini
pengertian Rule of Law berdasarkan
substansi atau isinya sangat berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam suatu Negara.
Negara hukum merupakan terjemahan dari istilah Rechstaat atau Rule of Law. Rechsstaat atau
Rule of Law itu sendiri dapat dikatakan sebagai bentuk perumusan yuridis
dari gagasan konstitusionalisme. Oleh karena itu, konstitusi Negara hukum
merupakan dua lembaga yang tidak terpisahkan.
Friedman (1959) membedakan Rule of Law menjadi dua, yaitu pengertian secara formal (in the formal sense) dan pengertian
secara hakiki / materill (ideological
sense). Secara formal, Rule of Law diartikan sebagai kekuasaan umum yang
terorganisasi (organized public power),
misalnya Negara. Sementara itu secara hakiki, Rule of Law terkait dengan penegakan Rule of Law karena menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk (just and unjust law). Rule of Law terkait dengan keadilan
sehingga Rule of Law harus menjamin
keadilan yang dirasakan oleh masyarakat atau bangsa.
B. PRINSIP-PRINSIP
RULE OF LAW
pengertian Rule
of Law tidak dapat dipisahkan dengan pengertian Negara hukum atau Rechtsstaat. Meskipun demikian dalam
Negara yang menganut system Rule of Law
harus memiliki prinsip-prinsip yang jelas, terutama dalam hubungannya dengan
realisasi Rule of Law itu sendiri.
Menurut Albert Venn Dicey dalam “Introduction to the law of the Constitution”.
Memperkenalkan istilah the rule of law
yang secara sederhana diartikan sebagai suatu keteraturan hukum. Menurut dicey
terdapat 3 unsur yang fundamental dalam Rule
of Law, yaitu :
1. Supremasi
aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang dalam arti
seseorang boleh dihukum, jika memang melanggar hukum
2. Kedudukannya
yang sama dimuka hukum, hal ini berlaku
baik bagi masyarakat biasa maupun pejabat Negara
3. Terjaminnya
hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang serta keputusan pengadilan.
Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa jika dalam
hubungan dengan Negara hanya berdasarkan prinsip tersebut, makanegara terbatas
dalam pengertian Negara hukum formal, yaitu Negara tidak bersifat proaktif
melainkan pasif. Sikap Negara yang demikian ini dikarenakan Negara hanya
menjalankan dan taat pada apa yang termaktib dalam konstitusi semata. Dengan
kata lain Negara tidak hanya sebagai “penjaga malam” (nachtwachterstaat). Dalam
pengertian seperti ini seakan-akan tidak berurusan dengan kesejahteraan rakyat.
Setelah pertengahan abad ke-20 mulai bergeser, bahwa Negara harus bertanggung
jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu Negara tidak hanya sebagai
“penjaga mala” saja, melainkan harusaktif melaksanakan upaya-upaya untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan cara mengatur kehidupan social
ekonomi.
Dalam hubungan Negara hukum ini organisasi pakar
hukum internasional, Internasional
Comission of jurists (ICJ). Secara intens melakukan kajian terhadap konsep
Negara hukum dan unsur-unsur esensial yang terkandung didalamnya. Dalam
beberapa kali pertemuan ICJ di berbagai Negara seperti di Athena (1995), di New
Delhi (1956), di Amerika Serikat (1957) di Rio de Jainero (1962) di Bangkok
(1965), dihasikan paradigm baru tentang Negara hukum. Dalam hubungan ini
kelihatan ada semangat bersama bahwa konsep Negara hokum adalah sangat penting
yang menurut Wade disebut sebagai Rule of
Law is Phenomenon of free society and the mark of it. ICJ dalam kapasitasnya
sebagai forum intelektual, juga menyadari bahwa yang terpenting lagi adalah
bagaimana konsep rule of law dapat
diimplementaskan sesuai perkembangan kehidupan dalam masyarakat.
Secara praktis,pertemuan ICJ di Bangkon tahun 1965
semakin menguatkan posisi rude of law didalam kehidupan bernegara. Selain itu
pertemuan tersebut telah digariskan bahwa disamping hak-hak polotik bagi
masyarakat harus diakui pula adanya hak-hak social ekonomi. Komisi ini
merumuskan syarat-syarat pemerintahan yang demokratis dibawah rule of law yang dinamis, yaitu :
1. Perlindungan
konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individual, konstitusi harus
pula menentukan teknis procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak
yang dijamin
2. Lembaga
kehakiman yang bebas dan tidak memihak
3. Pemilihan
umum bebas
4. Kebebasan
menyatakan pendapat
5. Kebebasan
berserikat/berorganisasi dalam beroposisi serta
6. Pendidikan
kewarganegaraan (Azhary, 1995 : 59).
Gambaran ini mengukuhkan Negara hukum sebgai Walfare state, karena sebenarnya
mustahil mewujudkan cita-cita Rule of Law
sementara posisi dan peran Negara sangat minimal dan lemah. Atas dasar inilah
kemudian Negara diberikan kekuasaan dan kemerdekaan bertindak atas dasar
inisiatif parlemen. Negara dalam hal ini pemerintah memiliki Fries ermessen atau poivoir discretionnare, yaitu kemerdekaan yang dimiliki pemerintah
untuk turut serta dalam kehidupan social ekonomi dan keleluasaan untuk tidak
terlalu terikat pada produk legislasi parlemen.
Dalam gagasan walfare
state ternyata Negara memiliki wewenang yang relative lebih besar,
ketimbang format Negara yang hanya bersifat Negara hukum formal saja. Selain
itu dalam welfare state yang terpenting dalam Negara semakin otonom untuk
megatur dan mengarahkan fungsi dan peran Negara bagi kesejahteraan hidup masyarakat.
Oleh sebab itu, sejalan dengan konsep Negara hukum, baik Rechtsstaat maupun Rule of
Law, pada prinsipnya memiliki kesamaan fundamental serta saling mengisi.
Dalam prinsip Negara ini unsur penting pengakuan adanya pembatasan kekuasaan
yang dilakukan secara konstitusional. Oleh karena itu terlepas dari adanya
pemikiran dan praktek konsep Negara hukum yang berbeda. Konsep Negara hukum dan
Rule of Law adalah suatu realisasi
dari sebuah cita-cita Negara bangsa, termasuk Negara Indonesia.
C. PRINSIP-PRINSIP
RULE OF LAWSECARA FORMAL DI INDONESIA
Penjabaran prinsip-prinsip Rule of Law secara formal termuat dalam pasal UUD 1945 yaitu :
1. Negara
Indonesia adalah Negara hukum (pasal 1 ayat 3)
2. Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dalam peradilan (pasal 24 ayat 1).
3. Segala
warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hokum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27
ayat 1)
4. Bab
XA tentang Hak Asasi Manusi, memuat sepuluh pasal antara lain bahwa setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hokum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hokum (pasal 28 D ayat 1)
5. Setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja (pasal 28 D ayat 2).
Komentar
Posting Komentar